24 November 2008

Rumah Segala Penyakit

Mawlana Syekh Muhammad Hisyam Kabbani QS

Dipetik dari buku The Naqshbandi Sufi Tradition, Guidebook of Daily Practice and Devotions

 

A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir ra
hmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Mu
hammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin

 

Bagaimanapun, setiap penyakit ada obatnya.  Memasuki bahasan ini, kami mencatat hubungannya dalam sabda Nabi SAW, “Perut adalah rumah dari segala penyakit dan sumber dari segala kesembuhan adalah dengan diet.”  Diet di sini berarti waspada penuh terhadap apa yang masuk ke mulut dan sampai ke perut kita.  Langkah awal dalam berdiet adalah mengontrol keinginan ego untuk makan.  Nabi SAW mengatakan, “Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali sedang lapar dan ketika kami makan, tidak sampai kekenyangan.”

Kepandaian yang benar dimiliki oleh mereka yang menjaga tangannya dari meraih sesuatu untuk bisa dimakan lagi, orang seperti itu benar-benar menjaga egonya.  Ego selalu ingin lebih - mereka selalu tamak.  Jika Allah SWT menganugerahi kita sebuah rumah, maka ego melirik mereka yang memiliki rumah yang lebih besar, dia ingin memiliki rumah itu.  Ego tidak akan pernah mengatakan, “Alhamdulillah, kita mempunyai sebuah tempat untuk tinggal.”  Jika seseorang memiliki satu juta dolar, ego ingin dua juta; jika ada yang mempunyai dua juta, ego ingin 3 juta.

Yahya bin Yahya, seorang murid Imam Malik meminta nasihat.  Imam Malik memberinya 3 nasihat, setiap hal berisi sebuah harta karun.  Kata beliau, “Aku akan menyusun seluruh obat-obatan para dokter, dan hasil dari ilmu pengobatan dalam satu kalimat adalah: jauhkan tanganmu dari makanan selama kamu masih punya keinginan untuk makan.

Dengan mengikuti nasihat itu, orang tidak akan melihat penyakit selama hidupnya.  Yang paling penting adalah melatih  ego untuk mendengar  dan menerima kebenaran.  Perang dengan nafsu berawal dari sebuah percakapan, debat antara roh (yang menginginkan kemenangan spiritual) dengan nafsu/ego yang mencari kepuasan hal-hal yang paling dasar.  Roh akan bertanya pada ego, “Kamu sudah selesai makan?”  Kemudian dijawab, “Belum, aku masih ingin beberapa gigitan lagi, makanan ini sungguh enak.”  Pada saat itu diri yang suka mencela (an-nafs al-lawwamah) akan mengatakan, “Tetapi kamu  tidak menjaga sunnah dalam hal makan.”  Itulah titik keputusan: untuk mengamati sunnah atau tidak – untuk menjaga disiplin atau tidak – untuk mengontrol nafsu atau tidak.

Untuk alasan itulah Nabi SAW mengatakan, “Berkontemplasi selama satu jam adalah lebih baik daripada 70 tahun ibadah.  Berarti apa yang dicapai dalam meditasi  tidak bisa dicapai dengan hanya ibadah, karena Iblis juga menyibukkan diri dengan ibadah terus-menerus, tidak ada bagian dari surga dan bumi tersisa tanpa bekas dari sujud mereka.  Namun pada akhirnya Iblis gagal  akibat ego pemberontakannya.  Hanya karena satu perintah Tuhan yang tidak dia patuhi menjadikannya jatuh dalam kehinaan.

Syekh Abul Hasan asy-Syadzili QS mengatakan, “Buah dari muraqaba (meditasi) adalah talenta karunia dari Ilahi.”  Tetapi meditasi tidak bisa dilakukan di antara banyak orang, namun dengan mengisolasi diri (al-Uzlah).  Dalam faktanya, alasan utama orang duduk menyendiri adalah untuk melakukan meditasi.  Meditasi itu benar-benar terpisah dari semua mata dan telinga orang lain.  Memberi kesempatan kalian untuk melatih ego, menungganginya, seperti seorang joki menaiki gunungnya sendiri.  Begitu kalian menunggangi ego, maka dia tidak akan bisa mengontrol kalian lagi.  Ketika kalian mengatakan, “Aku tidak mau makan.”  Dia akan mengatakan, “Aku mendengar dan aku patuh.”  Bila tidak dilatih, maka kalian yang akan dikendalikan oleh ego.

Itulah sebabnya mengapa seorang guru bisa menguji murid-muridnya dengan memberi mereka makanan yang berlebihan.  Ujian semacam itu sebenarnya untuk memerangi keinginan ego untuk tidak makan, yang biasanya terasa bila perut telah kenyang dan makanan tidak begitu lezat.  Dalam menjaga cara-cara sufisme, tidak ada hal dilakukan untuk menuruti keinginan ego.  Jadi jika syaikh memerintahkan kalian untuk makan semangkuk penuh makanan lembut dan hambar, maka kalian harus memakannya dengan senang hati, karena itu adalah kepatuhan di mana syaikh akan menaikkan maqam kalian.

Dan bila syaikh membagikan makanan lagi, makanan yang penuh berkah berasal dari tangan beliau, dari hasil ibadah-ibadah beliau, dan menyiapkan makanan itu ketika beliau berdoa dan bershalawat atas Nabi SAW– lalu kalian, walaupun dengan cara paling halus mengatakan, “Ini sudah cukup.”  Hal itu menampakkan ketidakpatuhan kalian, keinginan dalam hati kalian untuk mengatakan, “Tidak, aku tidak ingin makan lagi.”  Maka hati-hatilah, jika reaksi kalian pada sesuatu yang sebenarnya tidak membahayakan adalah seperti itu, lalu bagaimana bila selanjutnya syaikh meletakkanmu dalam ujian yang lebih berat?